JAKARTA, ASPIRATIF.com – Lingkungan yang tidak sehat atau toxic adalah hal yang lazim ditemui di dunia kerja. Situasi ini dapat memengaruhi kesejahteraan dan kinerja pekerjaan, namun terkadang tidak dapat dihindari. Lantas bagaimana cara mengatasinya?
Menurut Ketua Umum Sumber Daya Manusia Indonesia (ISPI), Ivan Taufiza, penggunaan bahasa toxic sebenarnya terhitung baru. Namun, kondisi itu ternyata sudah sudah ada sepanjang sejarah umat manusia.
Ivan melihat isu toxic merupakan salah satu bagian dari dinamika atau tantangan dari dunia kerja yang melekat dengan pekerjaan itu sendiri.
“Tidak ada pekerjaan yang tidak ada tantangannya, tidak ada hambatannya. Toxic itu bagian dari pekerjaan. Jadi cara pandang kita melihat toxic itu yang paling pertama harus dibenerin,” ucapnya, Sabtu (2/12/2023).
Berangkat dari pengalaman Ivan yang sudah 20 bekerja di berbagai perusahaan lokal dan internasional seperti Nissan, British American Tobacco, American President Lines, dan ConocoPhillips, Ivan mengatakan bahwa lingkungan toxic sebenarnya bisa diantisipasi.
Pertama, saat berhadapan dengan rekan kerja atau atasan yang toxic, pekerja disarankan untuk menghindari obrolan yang bersifat personal. Pembahasan cukup dilakukan di tataran pekerjaan saja atau hal-hal yang bersifat teknis.
“Kalau ketemu bos atau rekan kerja yang toxic, obrolan itu cukup soal pekerjaan saja. Jangan ke hal lain. Saya pernah kerja sama pimpinan yang dianggap toxic, jadi dari saya masuk sampai keluar, itu ngomongin pekerjaan saja. Ada pekerjaan dikoreksi, diperbaiki, gitu saja. Saya tidak pernah menganggap dia tidak suka sama saya dan sebagainya. Begitu saja. Kerjaan saya beres. Hubungan dia baik ke saya,” jelasnya.
Tips kedua, adalah semua pekerja, baik atasan, user, head, sampai level direksi, berstatus karyawan. Hal ini berarti pekerja masih punya banyak cara untuk bermanuver alias mencari cara untuk menghindari hal tersebut. Ia menyarankan pekerja tidak perlu terjun ke dalam gosip atau isu-isu yang sering kali menjadi pemicu budaya toxic di perusahaan.
“Kita semua itu pegawai, office boy maupun direktur, itu masih bisa kita hadapi secara manuver, kerja saja baik-baik, karena mereka semua bisa diganti. Jadi gausah diladenin jalanin saja. Fokus dengan tujuan kita kerja di perusahaan,” sambungnya.
Tips ketiga, adalah menurunkan ego. Menurutnya, mayoritas konflik atau toxic di lingkungan kerja terjadi jika pekerja merasa produk atau output yang dihasilkan harus diakui atau diapresiasi orang lain. Padahal, menurutnya hal ini tidak perlu.
Ivan mengatakan perusahaan atau divisi sumber daya manusia perusahaan sebetulnya tahu siapa saja karyawan yang berperforma baik, buruk, kooperatif, sampai yang menjadi biang masalah atau trouble maker. Alhasil, pekerja sebenarnya tidak perlu repot-repot harus terlihat baik di mata atasan.
“Kantor itu tidak buta dan tuli. Kantor tahu siapa yang kerja, siapa yang ngomong doang, dia tahu. Bahwa itu tidak disebut secara terbuka, memang seperti itu. Dia tahu siapa yang berperforma baik dan buruk. Mentality (harus diapresiasi) ini yang terkadang membuat friksi dan repot,” ungkapnya.
Kendati demikian dengan semua saran itu, Ivan mengatakan pekerja sebaiknya juga harus tahu jika ternyata owner atau pemilik perusahaan yang memang toxic atau sering bersikap tidak sehat.
Dalam hal ini, ia pun menyarankan agar pekerja pelan-pelan mempersiapkan diri untuk mencari pekerjaan atau jenjang karier yang lebih baik. Sebab, budaya toxic tidak akan bisa dirubah jika sudah mengakar di tempat kerja.
“Kalau cuma karyawan atau pimpinan yang toxic masih bisa bermanuver, tapi kalau pemilik, susah. Kita harus tahu menempatkan diri. Jangan paksa sesuatu yang tidak bisa kita lawan. Mending pelan-pelan prepare cari pekerjaan baru,” pungkasnya.
Source: Detikcom
Dok: kompas.com