Saat ini marak terjadi kasus kenakalan remaja mulai dari kasus yang ringan hingga berat. Kenakalan remaja yang masih berada di kategori ringan itu misalnya seperti membuang sampah sembarangan, telat masuk sekolah, ataupun membolos. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori kenakalan remaja yang berat itu seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran, hubungan seks di usia dini, penjambretan, ataupun kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Selain itu kenakalan remaja juga dibedakan dari jumlah pelaku kenakalan tersebut, mulai dari kasus perorangan hingga yang dilakukan secara berkelompok.
Salahs atu kenakalan remaja yang dilakukan secara berkelompok adalah kasus klitih yang hingga saat ini masih meresahkan warga Yogyakarta. Dilansir dari catatan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta bahwasannya kasus klitih meningkat 11,54% pada tahun 2021 dengan 58 kasus dan 102 pelaku diantaranya telah ditangkap. Bahkan, hingga April 2022 saja sudah ditemukan 27 kasus klitih di Yogyakarta maka tidak menutup kemungkinan sampai akhir tahun 2022 angkanya bisa lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kasus di tahun 2021. Dan mirisnya, menurut data Polda DIY, mayoritas pelaku klitih merupakan pelajar yang secara langsung termasuk ke dalam golongan usia remaja.
Selain itu di Surabaya, akhir-akhir ini juga diresahkan dengan kegiatan konvoi beberapa remaja sembari membawa senjata tajam mengelilingi kota Surabaya di malam hari yang marak disebut gangster. Dilansir dari cnnindonesia.com mengungkapkan bahwa selain konvoi, mereka juga turut membuat keributan dengan melakukan tawuran antar geng, penyerangan fasilitas umum seperti pos satpam, warung kopi, hingga menimbulkan beberapa korban luka. Lagi dan lagi kasus ini dilakukan oleh remaja dengan rentan usia belasan tahun.
Mengapa remaja rentan melakukan kenakalan?
Menurut WHO, remaja merupakan seseorang yang berada di rentang usia 10-19 tahun, sedangkan menurut BKKBN, rentang usia remaja adalah 10-24 tahun ataupun belum menikah. Itu tadi adalah definisi medis seorang remaja yang meliputi usia. Kemudian ditinjau dari definisi remaja mernurut ahli, Santrock (2019) menjelaskan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi adanya perubahan fisik, hormone, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja sering dianggap sebagai masa pemberontakan. karena di masa ini seseorang akan melakukan banyak pertentangan dan pemberontakan demi mencari jati diri mereka.
Selain itu masa remaja juga identik dengan usia bermasalah maka dari itu beberapa ahli mengatakan bahwasannya masa remaja adalah masa storm and stress. Remaja juga sering digambarkan dengan kondisi emosi yang tidak stabil dan cenderung menggelora serta tingkat hormon yang tidak stabil sehingga remaja sering merasakan perubahaan suasana hati, emosi, ataupun mood dalam waktu yang cepat.
Remaja juga dideskripsikan sebagai sosok yang sulit dikendalikan karena remaja merasa sudah berhak secara penuh atas dirinya tanpa ada campur tangan dari keluarga ataupun masyarakat di sekitarnya. Dengan perasaan tersebut, remaja mengangungkan egonya meskipun belum mengenal dirinya secara peran sosial sehingga rentan terbawa arus pergaulan bilamana ia bergaul dengan lingkugan yang negatif. Hal inilah yang mendorong munculnya kenakalan remaja.
Remaja Mencari Jati Diri
Kenakalan remaja atau juvenile delinquency merupakan kenakalan yang dilakukan oleh seorang maupun sekelompok remaja. Kenakalan remaja merujuk pada tingkah laku yang tidak diterima secara sosial dan merugikan diri sendiri serta orang lain. Biasanya kenakalan remaja didorong adanya keinginan untuk memperlihatkan eksistensinya sebagai seorang manusia yang memiliki identitas khusus.
Namun dalam usahanya, remaja kerap kali bertindak agresif dan seolah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya sehingga sering kali seorang remaja tanpa pikir panjang bertindak di luar norma sosial yang sudah ditentukan. Selain itu kenakalan remaja erat kaitannya dengan krisis identitas. Krisis identitas merupakan salahsatu penyebab dari kenakanalan remaja.
Pada masa ini, remaja mulai membentuk citra diri mereka melalui penyatuan atau integrasi antara ekspektasi untuk dirinya sendiri dan ekspektasi orang lain terhadap dirinya. Jika proses tersebut dapat dilalui dengan baik, ia akan menghasilakn citra diri yang konsisten (ego identity). Namun yang terjadi bisa malah sebaliknya. Seorang remaja bisa saja mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi identitas mereka. Hal inilah yang disebut dengan role confusion atau disebut juga dengan ambiguitas peran. Kebingungan yang dirasakan seorang remaja mengenai siapa identitasnya dan apa perannya menyebabkan munculnya krisis identitas.