JAKARTA, ASPIRATIF.com – Mahkamah Konstitusi akan memutuskan nikah beda agama diakomodasi negara atau tidak. Keputusan ini akan ditetapkan awal pekan ini.
“Pengucapan putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” demikian bunyi jadwal sidang MK, sebagaimana dilansir website MK, Minggu (29/1/2023).
Putusan uji materiil undang-undang pernikahan tersebut rencananya dibacakan pada Selasa (31/1). Sidang itu atas permohonan Ramos Petege, pemeluk agama Katolik yang gagal menikahi perempuan beragama Islam
Ramos Petege lalu menggugat UU Pernikahan ke MK dan berharap pernikahan beda agama diakomodasi UU Perkawinan. Untuk mengurai permasalahan konstitusionalitas pernikahan beda agama, MK menggelar 12 kali sidang.
MK Pernah Tolak Permohonan Nikah Beda Agama
Gugatan Ramos Petege bukan hal baru. Pada 2014, isu serupa pernah diadili MK dengan pemohon sejumlah mahasiswa dan hasilnya MK menolak permohonan itu. Apa alasan MK kala itu?
“Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” demikian bunyi pertimbangan MK.
MK menegaskan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia.
“Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan,” urai MK.
Pertanyaan Hakim Konstitusi
Hakim konstitusi Suhartoyo mempertanyakan relevansi larangan pernikahan beda agama di UU Perkawinan. Sebab, UU itu telah berusia puluhan tahun sehingga konstektualnya bisa saja dikaji lagi.
“Sebenarnya Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, ini kan sudah hampir 40 lebih tahun,” kata Suhartoyo.
Suhartoyo menggarisbawahi keterangan DPR yang disampaikan Arsul Sani. Diterangkan Arsul Sani bila larangan itu sudah menjadi perdebatan saat lahirnya UU Perkawinan itu.
“Nah, persoalan yang muncul kemudian, memang dalam konteks kekinian, Pak Arsul dan Pak Dirjen, ini kan sudah berbeda dengan tahun 1974. Apakah tetap statis seperti 1973 atau kah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi bahan kajian bersama ketika akan dilakukan perubahan Undang‐Undang Nomor 174 itu, Pak Arsul?” tanya Suhartoyo.
Sedangkan hakim konstitusi Daniel Yusmic menggarisbawahi pada kenyataannya nikah beda agama tersebut terjadi di Indonesia. Pemerintah diminta memberi solusi.
“Jalan tengahnya seperti apa?” tanya Daniel tegas.
Source: detik.com