JAKARTA, ASPIRATIF.com – Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK), Nunuk Suryani beberkan data asesmen nasional Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2022. Hasilnya ditemukan sebanyak 34,51% siswa berpotensi alami kekerasan seksual, 26,9% alami hukuman fisik dan 36,31% alami perundungan.
Data ini membuktikan bila Indonesia memiliki tantangan yang serius terkait kasus perundungan dan kekerasan seksual khususnya terhadap anak-anak. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya melanda korban secara langsung tetapi juga gelombang kekhawatiran dan kecemasan bagi orang tua.
Terkait hal tersebut, Psikologi Klinis dan Keluarga, Nurina menjelaskan orang tua perlu memahami lebih lanjut perannya dalam kehidupan anak. Terutama ketika anak mengalami kasus perundungan dan kekerasan seksual.
“Peran orang tua bagi anak bukan hanya sekedar tugas melainkan sebuah seni yang memerlukan pemahaman mendalam agar siap ketika menjalaninya,” jelas Nurnia dikutip dari rilis resmi Kemendikbudristek dikutip, Minggu (10/3/2024).
Cara Hadapi Perundungan dan Kekerasan Seksual Pada Anak
Dalam kasus perundungan dan kekerasan seksual, Nurina menyatakan bila orang tua berperan dalam proses pencegahan. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan seperti:
1. Mengetahui masa Psikoseksual anak
Masa psikoseksual anak dimulai sejak usia dini yakni 0-6 tahun dengan fase Oral, Anal, dan Phalik. Berlanjut ke masa kanak-kanak pertengahan atau pra-pubertas ketika berusia 7-12 tahun dengan fase Laten.
“Terakhir masa pubertas atau remaja awal mengalami fase Genital yang sedang mencari identitas diri sesuai jenis kelamin,” jelas Nurina.
2. Promotif
Pada langkah ini, perlu sinergi antara peran orang tua dan sekolah. Keduanya harus memberi pengetahuan pendidikan seksualitas sesuai tahapan perkembangan anak, melakukan parenting class, dan melatih keterampilan anak.
3. Preventif
Cara preventif berhubungan dengan gaya pengasuhan yang sesuai dengan modalitas utama anak. Lebih baik menggunakan pola asuh yang seimbang antara demokratis, otoriter dan permisif.
“Orang tua juga perlu menyeimbangkan antara harapan dan kemampuan anak serta membangun komunikasi harmonis dengan anak,” tutur Nurina.
4. Kuratif
Cara kuratif bisa dilakukan dengan memperbanyak afirmasi positif pada anak melalui pujian dan penghargaan, sehingga self esteem anak bisa meningkat.
Lebih baik berfokus pada kompetensi yang dimilikinya tetapi jika kesulitan jangan ragu untuk mencari bantuan pada tenaga profesional seperti konseling atau psikoterapi.
Nurina memahami bila pendidikan karakter anak tidak bisa terbentuk dengan sendirinya dan perjalanannya sangat panjang. Proses ini juga perlu dilakukan secara bersama dengan berbagai pihak dari di lingkungan keluarga, masyarakat hingga pemerintah.
“Maka nikmatilah setiap prosesnya karena setiap yang menanam, pasti akan menuai,” pungkas Nurina.
Di ranah pemerintah, Nunuk menjelaskan proses pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dituangkan dalam Permendikbduristek Nomor 46 Tahun 2023. Peraturan yang menjamin kepastian hukum ini melindungi seluruh warga sekolah.
“Termasuk guru dan peserta didik, serta meningkatkan kualitas pendidikan guna mewujudkan satuan pendidikan yang merdeka dari kekerasan,” ujar Nunuk.
Source: Detikcom