Connect with us

Opini

OPINI: Kurangnya Peran Wanita Dalam Pemilu 2024

Published

on

OPINI, ASPIRATIF.com – Meskipun Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih kurang lebih satu tahun lagi, suasana kampanye sudah mulai terasa. Sejumlah billboard, baliho, spanduk, dan banner calon anggota legislatif dan eksekutif (calon guberrnur dan bupati/wali kota) sudah bermunculan. Bermacam isu pun mulai digaungkan, plus janji-janji manis untuk memberikan iming-iming tentang Indonesia, provinsi, atau kabupaten/kota yang lebih baik. Tiap calon sudah memasang tagline yang bertujuan memikat calon pemilih.

Yang patut dicermati, dari beberapa bakal calon yang bermunculan, tampaknya keseimbangan gender belum terpenuhi. Bakal calon laki-laki masih mendominasi. Padahal, perempuan memiliki hak politik yang setara dan dijamin dalam UUD 1945. Sebagaimana tersirat dari Pasal 27 ayat (1), ‘Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’, dan Pasal 28 ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’. Kemudian, Indonesia telah lama meratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan ke dalam Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1968 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita.

Dominasi laki-laki dalam pemilu di Indonesia bisa dibilang kian berkurang, tapi masih jauh dari harapan untuk kesetaraan. Persentase kursi legislatif yang diduduki perempuan pada Pemilu 1999 sebesar 9%, Pemilu 2004 11,8%, Pemilu 2009 18,3%, Pemilu 2014 17,3%, dan Pemilu 2019 20,8%. Kenaikan persentase pada Pemilu 2004 didorong dengan adanya affirmative action yang tertuang dalam Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, bahwa ‘Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%’.

See also  Integrasi Logistik Dalam Mitigasi Bencana Alam Di Indonesia

Penerapan zipper system juga berperan dalam meningkatkan persentase yang signifikan pada Pemilu 2009, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, ‘Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon’. Walaupun telah ada dua pendorong tersebut, persentase menurun pada Pemilu 2014.

Advertisement

Persentase jumlah perempuan anggota parlemen di Indonesia masih belum setara, bahkan ada di bawah rata-rata dunia. Data dari Inter-Parliamentary Union (IPU) per November 2022 menyatakan bahwa rata-rata persentase perempuan anggota parlemen di dunia ialah 26,5%. Indonesia menjadi negara urutan ke-105 dari 188 untuk persentase perempuan di parlemen, dengan jumlah 126 orang dari 575 anggota. Peringkat pertama diduduki Rwanda (61,3%), kemudian disusul Kuba (53.4%), Nikaragua (51,7%), Selandia Baru (50,4%), Meksiko (50,0%), dan Uni Emirat Arab (50,0%).

Jalan panjang perempuan menuju kesetaraan dialami seluruh negara. Misalnya, negara tetangga kita, Australia. Pada 1994, Australia menargetkan persentase perempuan untuk mendapatkan kursi sebanyak 35%. Kemudian, naik menjadi 40% pada 2002. Pada 2015, ditargetkan 2025 perempuan Australia 50% menduduki kursi legislatif. Kini sudah 38,4% perempuan yang duduk di kursi Majelis Tinggi (Senat) dan 56,6% yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah Indonesia berani untuk menaikkan ambang batas minimal pencalonan perempuan agar terdorong kuantitas keterwakilan perempuan di parlemen? Bukan hanya kuantitas, kualitas perempuan juga diperlukan untuk mendukung kebijakan yang baik. Persentase perempuan berpendidikan tinggi di Indonesia memiliki selisih tipis dari laki-laki. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa 10,06% perempuan di Indonesia telah memiliki ijazah pendidikan tinggi, sedangkan laki-laki mencapai 9,28%. Walaupun selisihnya lebih besar sedikit daripada laki-laki, tetapi masih perlu ditingkatkan lagi agar perempuan memiliki kesadaran hukum dan politik. Pendidikan juga mendukung perempuan untuk berpikir kritis atas masalah yang dihadapi agar solusi yang diberikan para wakil rakyat perempuan dapat mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi.

See also  OPINI: Perang dan Realitas Transisi Energi

 

Source: Opini Media Indonesia

Advertisement
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *