berarti peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan serta pengurangan emisi melalui pengalihan ke penggunaan sumber energi rendah emisi karbon, efisiensi energi dan penanganan emisi dengan memanfaatkan teknologi yang lebih baik dan efisien.
Salah satu usaha mendorong transisi energi adalah dengan pemberlakuan nilai ekonomi karbon (carbon pricing)yang sudah dimulai diberlakukan di lebih dari 40 wilayah di dunia. Tanpa adanya nilai ekonomi dalam emisi karbon, pelepasan emisi karbon tidak akan berdampak pada perilaku usaha.
Namun, dalam dalam beberapa hari terakhir, harga karbon dalam Sistem Pedagangan Emisi di Uni Eropa (Emissions Trading System, EU ETS) cukup mengejutkan banyak pihak.
Setelah belum lama ini harga emisi karbon terus mengalami peningkatan hingga diperdagangkan mendekati harga 100 Euro per ton CO2e, harga karbon mendadak anjlok hingga 35 persen sejak terjadinya konflik Russia dengan Ukraina. Ironisnya, hal itu terjadi saat harga bahan bakar fossil, baik batubara, minyak dan gas sedang melambung tinggi. Saat ini harga kembali stabil di sekitar 80 EUR per ton CO2e.
Advertisement
Anomali ini diperkirakan oleh berbagai analis setidaknya diakibatkan oleh tiga hal, yaitu kebutuhan akan dana segar yang cair dari para investor yang mengalami kerugian asset di jenis lain atau memperoleh likuiditas untuk menutup biaya gas dan listrik yang mahal.
Kemudina, antisipasi terjadinya penurunan permintaan akibat perang yang menyebabkan harga energi yang mahal sehingga industri mengurangi biaya operasionalnya serta teknikal pedagangan untuk mengurangi kerugian.
Bagaimana Nasib Transisi Energi?
Hery Haerudin mengatakan, pandangan bahwa lonjakan dan anjloknya nilai karbon disebabkan oleh teknikal perdagangan dan isu likuiditas ini membuka perspektif lain, bahwa nilai karbon dalam skema perdagangan karbon hanyalah salah satu jenis instrumen keuangan kapitalistik yang nilainya dapat dipengaruhi oleh spekulasi dan perilaku mengambil keuntungan.
Dalam kondisi seperti ini, nampak jelas bahwa skema perdagangan karbon memiliki risiko untuk tidak berkorelasi langsung terhadap tujuan mulia penurunan emisi. Harga karbon bisa melonjak tinggi menjadi gelembung investasi. Di sisi lain dapat anjlok ketika terjadi aksi spekulasi.Lain halnya dengan mekanisme pajak karbon.
Advertisement
Mekanisme ini memberikan disinsentif yang jelas kepada pihak pelepas emisi dan sekaligus meningkatkan pendanaan negara untuk keperluan penurunan emisi.Kejadian di pasar perdagangan emisi Eropa menjadi pengingat bagi Indonesia, bahwa kebijakan nilai ekonomi karbon perlu dipilih dan dipersiapkan dengan baik.
“Di sisi lain, penerapan intrumentasi harga karbon telah berhasil menurunkan emisi sebesar 9 persen dari sektor kelistrikan di Europa pada tahun 2019. Secara total penurunan emisi sebesar 35 persen dicapai antar 2005-2019 yang dibiayai ETS,” jelas dia.
Di tahun yang sama, dana yang diperoleh pemerintah di negara-negara Eropa dari harga karbon juga berhasil mengumpulkan dana lebih dari 45 miliar USD, yang mana separuh dari dana tersebut digunakan untuk perlindungan lingkungan dan proyek pengembangan.
Harga karbon ini juga memberikan keuntungan dan dorongan pada pengembangan teknologi bersih, di mana pada saat harga karbon mencapai USD 30 Euro/t CO2e terjadi peningkatan jumlah paten untuk teknologi energi terbarukan dan penyimpanan karbon sebesar 30 persen.
Lebih dari itu, untuk menjaga agar energi baru dan terbarukan yang relatif masih lebih mahal dibanding energi fosil dapat diakses, tersedia dan terjangkau juga oleh golongan masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah. Namun, konflik dan perang menciptakan situasi dan kondisi yang tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa ketika energi fosil dibutuhkan dan harga energi fosil melambung tinggi, tetapi pada saat bersamaan harga karbon justru tertekan.