PANDEGLANG, ASPIRATIF.com – Wregas Bhanuteja kembali membuktikan tajinya sebagai pencerita ulung melalui Budi Pekerti. Ia menghadirkan kengerian cancel culture dengan sentuhan personal, menjadikannya begitu dekat dan membekas dalam benak.
Kemampuan bertutur Wregas lewat film memang tak perlu diragukan. Apalagi, ia memusatkan cerita Budi Pekerti di Yogyakarta yang tak lain adalah kampung halamannya sendiri.
Wregas bak enggan menggunakan Yogyakarta hanya untuk marketing stunt belaka. Ia justru mengerahkan memori masa kecilnya di kota itu dan mengawinkannya dengan berbagai referensi masa kini.
Hasilnya begitu memuaskan. Latar itu berperan penting dalam menyuguhkan nyawa film, baik secara narasi maupun visual. Budi Pekerti juga terasa membumi sekaligus nyata, menunjukkan usaha Wregas merawat akurasi latar dan suasana secara teliti dan bijak.
Keputusan itu juga membantu kisah keluarga Bu Prani (Sha Ine Febriyanti) memiliki nuansa lokal yang kental karena berjalan beriringan dengan elemen-elemen di sekitarnya.
Di sisi lain, Budi Pekerti juga brilian dalam menyuguhkan dialog yang hampir seluruhnya berbahasa Jawa. Film ini ternyata berhasil memastikan semua karakternya dapat berinteraksi secara luwes, bahkan dalam urusan aksen medok.
Saya tentu tidak ragu dengan ketelitian Wregas dalam menulis dialog. Ia terbukti cermat menentukan dialog mana yang harus memakai bahasa Jawa ngoko, krama inggil , kombinasi dengan bahasa Indonesia, termasuk kapan harus mengumpat atau ‘misuh’.
Kemampuan itu diimbangi dengan penampilan prima semua aktor yang terlibat, bahkan bagi mereka yang hanya mendapat screen time kurang dari semenit.
Pujian tentu layak diberikan kepada keempat pemeran utama yang memberikan akting terbaik mereka. Sha Ine Febriyanti adalah orang yang paling tepat untuk menjadi pemeran Bu Prani.
Ia menunaikan tugasnya sebagai jantung cerita dengan memesona. Emosi, kekalutan, gundah gulana, dan teror yang dirasakan Bu Prani mampu tersampaikan dengan utuh berkat penampilan Ine Febriyanti.
Dwi Sasono, meski tidak mendapat dialog yang dominan, juga sanggup memberikan warnanya tersendiri setiap kali muncul. Begitu pula dengan Prilly Latuconsina yang telah memberikan usaha terbaiknya memerankan Tita dengan segala emosi terpendamnya.
Namun, bagi saya Angga Yunanda menjadi sosok yang paling menyita perhatian dalam Budi Pekerti. Ia berhasil lepas dari citra rupawan yang selama ini melekat dengan beralih menjadi mas-mas biasa lewat karakter Muklas.
Desain karakternya yang kental dengan gaya nyentrik khas pemuda gondes mampu mengantarkan Angga menjadi Muklas. Ia dirombak total menjadi berambut pirang, bertindik, bahkan memakai softlens.
Modal karakter yang unik dan autentik itu dibawakan dengan luar biasa. Saya terpukau karena Angga ternyata bisa menunjukkan berbagai sisi Muklas secara autentik, dari cara berdialog hingga ekspresinya ketika menjadi influencer.
Jiwa Bebas Muklas yang mulai terenggut ketika ibunya menjadi hujatan netizen juga diterjemahkan dengan baik oleh Angga. Ia mampu meledak-ledak dan menjadi liar, tetapi kembali ekspresif saat dihadapkan layar kamera ponselnya.
Dengan penampilan ini, Angga Yunanda memang layak masuk nominasi FFI. Bahkan, menurut saya, ia menjadi unggulan untuk membawa pulang piala Pemeran Utama Pria Terbaik tahun ini.
Namun, di luar aspek latar dan dialog yang begitu lokal, Budi Pekerti justru membawakan cerita dengan muatan yang universal dan dekat dengan semua orang. Film ini mengangkat isu penting dengan menawarkan perspektif yang cukup komprehensif.
Ceritanya melaju dari peristiwa sehari-hari yang terlihat sepele menjadi persoalan besar dan berdampak bagi Bu Prani. Wregas lewat film ini juga jeli dalam menyuarakan sisi lain fenomena viral di internet dari potongan video yang umumnya tak lebih dari 20 detik.
Nestapa yang dihadapi Bu Prani seolah menjadi acungan telunjuk kepada penonton–terutama netizen–bahwa jejak jari kita di internet bisa meruntuhkan nasib orang, bahkan hingga keluarganya.
Wregas juga terlihat telah berusaha seadil mungkin dalam menggambarkan fenomena itu. Saya merasa penulisan ceritanya tidak pretensius, meski ada beberapa aspek yang didramatisasi.
Selain itu, Budi Pekerti terasa lengkap karena tidak hanya menunjukkan satu warna saja. Di dalam cerita Bu Prani, ada pula penghormatan terhadap dedikasi seorang guru, komentar untuk media dan aktivisme, hingga popularitas semu di internet.
Berbagai elemen itu dibawakan dengan narasi yang apik dengan beragam cara. Wregas bahkan bertutur melalui bahasa visual: ring light, sumur, hujan, atau nuansa kuning dan biru yang muncul nyaris dalam semua adegan.
Eksplorasi visual itu menjadi poin plus bagi Budi Pekerti, terlebih karena Wregas berusaha selalu menyelipkan makna untuk nyaris semua objek yang dimunculkan dalam film ini.
Pengalaman menonton saya berakhir sempurna berkat adegan penutup Budi Pekerti. Alunan piano Gardika Gigih lewat lagu Dan Hujan I sebagai musik latar merupakan pilihan yang tepat untuk menyimpulkan perjalanan Bu Prani.
Source: CNNINDONESIA
Dok: (Foto: Rekata Studio/Kaninga Pictures)